Sebuah Wejangan


Hari itu adalah hari pertama pada perayaan Idul Fitri. Hari dimana semua orang berkumpul dengan keluarganya, saling bermaaf-maafan. Hari dimana kupat, opor, nastar, putri salju menjadi ciri khas setiap rumah. Hari dimana berlembar-lembar uang disiapkan secara khusus untuk anak-anak yang belum menikah. Semua orang melakukan ritual yang sama di hari yang fitri itu, namun aku dan dia justru harus menembus padatnya jalanan demi sampai ke kota ngapak itu. Sepenggal perbincangan terjadi sebelum kami berangkat.

“Aku nggowo iki yo nggo ning ndalan” (Aku bawa ini ya untuk di jalan), katanya sembari menunjukkan sesuatu.
“Weh kowe?” (Weh kamu?), jawabku dengan ekspresi tak percaya.
“Sejak kapan e? Alesanne opo?” (Sejak kapan e? Alasannya apa?), lanjutku lagi.
“Wes suwe, yo. Yo rapopo, ra ono alesanne” (Sudah lama, ya. Ya tidak apa-apa, nggak ada alasannya).
“Yo ra mungkin. Mesti ono alesanne” (Ya tidak mungkin. Pasti ada alasannya), kataku dengan nada yang mulai meninggi.  
“Hmm... Kowe ra ngrasakke wae saben dino kumpul karo wong-wong koyo ngono” (Hmm... Kamu nggak ngerasain aja setiap hari kumpul sama orang-orang seperti itu).
“Aku kerep yo ngrasakke kumpul karo wong-wong koyo ngono” (Aku sering ya ngerasain kumpul sama orang-orang seperti itu), sanggahku.
“Yo tapi kan kowe ra nglakoni. Saiki aku takon, kowe ngopo kok ra seneng nek aku ngono?” (Ya tapi kan kamu nggak menjalani. Sekarang aku tanya, kamu kenapa kok nggak suka kalau aku begitu?).
“Yo ra seneng wae” (Ya nggak suka aja).
“Kowe mau takon aku alesanne ngopo kok koyo ngono, saiki kowe tak takon alesanne malah raiso njawab to” (Kamu tadi tanya aku alasannya kenapa kok seperti itu, sekarang kamu tak tanya alasannya malah nggak bisa menjawab to).
“Nglakoni koyo ngono ki rapopo, asal ra berlebihan. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Wong aku sedino ra nglakoni kui yo iso kok” (Melakukan itu nggak papa, asal tidak berlebihan. Aku sehari tidak melakukan itu juga bisa kok), tambahnya.
“Merga nglakoni kui aku dadi reti bedane. Sakjane kui ki ra bakal ngrusak kesehatan kok asal awak dewe ngerti batesanne” (Karena melakukan itu aku jadi tahu bedanya. Sebenarnya itu nggak akan merusak kesehatan kok asal kita tahu batasannya), jelasnya lagi.

Aku hanya terus melanjutkan kegiatan cuci piringku, walau sebenarnya telingaku mendengarkan dan hatiku separuhnya membenarkan perkataannya dan separuhnya lagi masih memberi penolakan atas kejujurannya saat itu. Walaupun akupun percaya dia tak pernah ingkar atas perkataan yang telah diucapkannya. Hanya saja hatiku belum mau terima.
 “Aku harus akur dengannya selama 4-5 jam perjalanan”, batinku.
Waktu menunjukkan pukul 11:37 WIB. Perjalanan kami dimulai. Kupikir kami tak akan banyak bicara karena kejadian tadi, namun nyatanya sepanjang perjalanan itu banyak sekali hal yang kami perbincangkan. Tak hanya itu, banyak pula hal yang kami perdebatkan. Aku merasa jadi mengenalnya lebih dalam sepanjang perjalanan siang itu. Satu yang menarik dan aku ingat betul sampai sekarang.

“Kowe isih nesu karo dee po?” (Kamu masih marah sama dia po?), tanyaku.
“Hoo. Wong wis tuwa kok ra nduwe tata krama” (Iya. Orang sudah tua kok nggak punya tata krama).
“Yo tapi kan carane ra ngono kuwi, aja dinengke wae. Kowe kan yo ngerti nek karaktere cen ngono kuwi” (Ya tapi kan caranya tidak begitu, jangan didiemin aja. Kamu kan juga tahu kalau karakternya memang seperti itu).
“Nah ya itu, karakter itu memang dibentuk dan terbentuk. Njuk aku kudune kepiye nyikapi karaktere? Opo yo bocah kuwi raiso ngandani wong sing luwih tuwa? Wong tuwa kuwi ora selalu bener, lho” (Nah ya itu, karakter itu memang dibentuk dan terbentuk. Lalu aku harusnya gimana menyikapi karakternya? Apa ya anak itu tidak bisa memberi tahu orang yang lebih tua? Orang tua itu tidak selalu benar, lho).

Sejenak aku memikirkan perkataannya. Dan lagi-lagi aku membenarkannya dalam hati. Karakter itu memang dibentuk dan terbentuk. Dibentuk dari dalam atau secara internal, yaitu keluarga. Sejak kecil seseorang pasti diajarkan banyak hal yang berawal dari keluarga. Karakter seseorang akan dibentuk dari bagaimana ajaran di dalam keluarganya dan bagaimana ia melihat apa yang dilakukan orang yang lebih tua darinya. Ia akan menirunya, sehingga karakternya menjadi seperti itu. Terbentuk dari luar atau secara eksternal, yaitu teman-teman di sekolah, organisasi, maupun lingkungan dimana seseorang tinggal. Pergaulan yang ada di luar bersama teman-teman baik di sekolah, organisasi, maupun tempat tinggal seseorang dapat mempengaruhi karakternya pula. Hanya tinggal bagaimana mau memilih dan memilahnya, sehingga karakter itu dapat terbentuk.
Aku kemudian tersadar, lalu melanjutkan perbincangan dengannya.

“Yo bener. Aku cen rung ngerti kepiye carane, tapi menurutku ora ngono kuwi. Awak dewe ki ming durung menemukan cara sing tepat wae kok” (Ya benar. Aku memang belum tahu caranya gimana, tapi menurutku bukan seperti itu. Kita itu hanya belum menemukan cara yang tepat saja kok).
“Opo yo manungsa kuwi ra sadar yo nek urip iki skenarione Gusti? Wingi nek ra ana kejadian ngono kuwi kan yo ra bakal nganti koyo ngene. Carane Gusti kuwi akeh kok, salah sijine yo koyo wingi kuwi. Kudune bar kejadian wingi kuwi yo dee iso sadar ‘Oh iyo aku ki salah’, ning kok yo ra sadar-sadar, malah tetep wae mbela diri njuk malah nesu-nesu, senengane ra gelem disalahke. Eling wae yo, wong sing luwih tuwa kuwi ora selalu bener” (Apa ya manusia itu nggak sadar ya kalau hidup ini skenarionya Tuhan? Kemarin kalau nggak ada kejadian seperti itu kan ya nggak akan sampai seperti ini. Caranya Tuhan itu banyak kok, salah satunya ya seperti yang kemarin itu. Harusnya setelah kejadian kemarin itu dia bisa sadar ‘Oh iya aku itu salah’, tapi kok ya nggak sadar-sadar, justru tetap saja membela diri terus justru marah-marah, sukanya nggak mau disalahkan. Ingat aja ya, orang yang lebih tua itu nggak selalu benar), jelasnya panjang lebar.

Aku mendengarkannya dengan seksama. Aku terlalu terpukau dibuatnya. Dan lagi-lagi aku membenarkan perkataannya. Perjalanan kala itu membuatku belajar untuk mendengarkan orang lain. Meresapi sejenak setiap kata yang keluar, baru kemudian memberi jawaban.

Terima kasih teristimewa untuk: sebuah wejangan.

Comments

Popular posts from this blog

Perihal Bahagia

Salah Sendiri

Si Ratu Telat #1