Sebuah Wejangan
Hari itu adalah hari pertama pada perayaan Idul Fitri. Hari dimana semua orang berkumpul dengan keluarganya, saling bermaaf-maafan. Hari dimana kupat, opor, nastar, putri salju menjadi ciri khas setiap rumah. Hari dimana berlembar-lembar uang disiapkan secara khusus untuk anak-anak yang belum menikah. Semua orang melakukan ritual yang sama di hari yang fitri itu, namun aku dan dia justru harus menembus padatnya jalanan demi sampai ke kota ngapak itu. Sepenggal perbincangan terjadi sebelum kami berangkat. “Aku nggowo iki yo nggo ning ndalan” (Aku bawa ini ya untuk di jalan), katanya sembari menunjukkan sesuatu. “Weh kowe?” (Weh kamu?), jawabku dengan ekspresi tak percaya. “Sejak kapan e? Alesanne opo?” (Sejak kapan e? Alasannya apa?), lanjutku lagi. “Wes suwe, yo. Yo rapopo, ra ono alesanne” (Sudah lama, ya. Ya tidak apa-apa, nggak ada alasannya). “Yo ra mungkin. Mesti ono alesanne” (Ya tidak mungkin. Pasti ada alasannya), kataku dengan nada yang mulai meninggi. “Hmm.