Perbincangan di Tengah Penderitaan
Aku membuka dan mengingat kembali foto yang
dikirimkan kakak sepupuku kemarin pagi. Terasa ngilu. Dengan penuh gejolak
dalam hati, aku memasuki ruangan itu perlahan. Ternyata ia sudah bisa duduk
sendiri, tidak seperti kemarin yang kabarnya hanya berbaring saja yang dapat
dilakukan.
Aku baru sempat menengoknya sekarang. Keadaannya
sungguh memprihatinkan. Betapa tidak, selama hidup tidak pernah mengalami
kecelakaan, begitu mengalami parahnya tak disangka-sangka. Ia yang biasanya
energik dan banyak bicara, kini harus terbaring tak berdaya. Hal yang kini kerap
dilakukannya hanyalah mengaduh dan terus mengaduh, merintih karena rasa pusing
di kepalanya tak kunjung hilang.
Tak selang berapa lama aku tiba, ia mulai angkat
bicara. Ternyata aku telah salah persepsi. Ia masih saja ceriwis, hanya saja tak
seenergik biasanya. Ia bercerita banyak hal.
Di tempat itu kami memang hanya berdua. Jadi yang mampu kulakukan hanya dengan setia mendengarkan.
Aku lalu bicara dalam hati.
“Ia yang sudah berusia 60 tahun saja ingin sekolah lagi, bagaimana dengan aku, yang masih diberi kesempatan sekolah tapi kadang-kadang tidak niat.”
Sembari merintih kesakitan, ia melanjutkan kisahnya. Sekalipun sakit, sifatnya yang ceriwis memang tak berubah.
“Sebenernya kita itu udah tahu kalau habis gini pasti nanti gitu. Tapi
kadang kita yang kurang hati-hati”, katanya sembari duduk di ranjang penuh derita itu.
“Kalau kemarin bude kurang hati-hatinya karena kurang jaga kesehatan
akhir-akhir ini, tidurnya malem terus. Karena nonton sinetron. Sebenarnya ya hanya
untuk hiburan saja, supaya tidak suntuk kerja terus. Eeeehh tapi malah paginya
kepala pusing. Tapi bude tetep berangkat kerja, naik sepeda. Entah bagaimana,
tiba-tiba sudah di Rumah Sakit saja”, begitu lanjutnya.
Di tempat itu kami memang hanya berdua. Jadi yang mampu kulakukan hanya dengan setia mendengarkan.
“Kadang
kalau sudah seperti ini, jadi menyesal. Rasanya masih banyak hal yang ingin
dilakukan. Ya pengen sekolah lagi, pengen pindah kerja, pengen ini, pengen itu.
Tapi setelah mengingat-ingat lagi, ternyata sudah 60 tahun saja.”
“Ia yang sudah berusia 60 tahun saja ingin sekolah lagi, bagaimana dengan aku, yang masih diberi kesempatan sekolah tapi kadang-kadang tidak niat.”
Sembari merintih kesakitan, ia melanjutkan kisahnya. Sekalipun sakit, sifatnya yang ceriwis memang tak berubah.
“Makannya
kamu mumpung masih muda, dimanfaatkan betul ya waktunya dengan baik. Jangan
sampai menyesal nantinya. Sekarang ikut kegiatan apa di kampus dan gereja?”
Akhirnya aku memiliki kesempatan bercerita pula, tidak sekedar mengangguk mengiyakan saja.
“Kalau
di kampus hanya ikut tim buletin aja, bude. Kalau di gereja ya masih ngurusin
Putra Altar. Lalu ikut lektor, OMK juga. Dan terlibat dalam Tim Panduan juga,
bude.”
“Tim
Panduan itu ngapain?”
“Ya
ngurusin panduan gereja, bude. Kebetulan sekarang saya yang mengkoordinir,
karena koordinatornya sudah agak sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya.”
“Bagus
itu. Berarti kamu sudah dipercaya. Sukacita itu tidak selalu didapat dari
berlimpahnya materi, tapi dari bagaimana kita ber-relasi dengan orang lain.”
Itu adalah kalimat terakhir yang aku
ingat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tidur karena sudah tidak kuat
menahan rasa sakit di kepalanya.
Aku kemudian merenungi segala perbincangan
yang baru saja terjadi. Aku baru menyadari bahwa kita ini kerap kali terlambat.
Terlambat untuk bersyukur, terlambat untuk berbagi sukacita. Pun kerap kali
kita salah persepsi, kebanyakan aktor mengganggap bahwa bahagia itu selalu disebabkan
oleh materi. Nyatanya belum tentu begitu. Ada yang hanya dikunjungi dan diajak
bercerita banyak hal saja, sudah bahagia. Maka jangan coba-coba menyeragamkannya,
itu hanya sebuah konstruksi sosial. Sukacita itu bisa dibentuk oleh banyak hal.
Oleh karenanya, jangan lupa bersyukur dan berbagi sukacita sebelum waktumu
habis.
Lakukan
segalanya, sebelum terlambat.
Pertamax
ReplyDeletePertalite
ReplyDelete