Belajar Berdua di Rumah

Hanya berdua saja di rumah dalam waktu yang cukup lama nggak menjadi masalah buatku dan adikku. Karena kami sudah terbiasa begini, bahkan saat kami masih duduk di bangku sekolah. Walaupun kalau waktu itu nggak sampai berbulan-bulan, seperti yang kami alami saat ini. Tapi nyatanya kami memang bisa melaluinya saat itu, jadi sekarang pun tak perlu diragukan lagi.

Usia yang berbeda, sudah sama-sama berkepala dua. Ternyata berbeda dengan saat kami masih di bangku sekolah. Tapi it’s okay, nggak jadi masalah kalau harus bermasalah dengan berdua saja di rumah selama berbulan-bulan. Yeah! Jadi, pandemi membuat ayahku menetap di ibukota. Sedang ibuku memilih menyusul kesana untuk menemani. Mengingat yang kubilang di atas tadi, sulung dan bungsunya sudah besar. Tak akan masalah kalau ditinggal berbulan-bulan lamanya. Dan juga mengingat tak ingin kerepotan kalau justru ayahku yang memilih pulang. Ya, kerepotan izin, omongan tetangga, dan tetek bengeknya.

Entah sejak kapan, sebenarnya, aku merasa jadi lebih perasa, sensitif, mudah menangis. Ada untung dan ruginya juga perasaan itu dengan situasiku dan adikku saat ini. Aku jadi lebih bisa merasakan hal-hal yang sebenarnya kecil adalah hal yang berdampak besar. Padaku, juga adikku. Berawal dari kebiasaan-kebiasaan buruk kami, perdebatan kami, yang justru sepenangkap otakku saat ini adalah hal-hal yang mengubah kami. Yang jadi proses belajar kami. Yang perlahan justru jadi kebiasaan baik, yang kami harap juga seterusnya, di tempat yang disebut rumah ini.

“Ambil trashbag yang baru dulu kalau mau buang sampah, jangan langsung ditaruh di tempat sampahnya. Masa ambil trashbag aja males. Payah banget”, kataku waktu itu.
“Ya, semua orang kan punya malesnya masing-masing”, jawabnya yang membuatku seketika terdiam.
Aku langsung teringat kemalasanku di samping kemalasan adikku yang satu itu. Benar juga, ya. Lalu hari-hari setelahnya aku memilih mengalah, mengambilkan trashbag waktu ia lupa, atau mungkin malas. Sampai pada hari aku bisa mengubah kemalasanku juga. Karena kalau tidak begitu, aku tak bisa membantah omongannya.

“Matiin lampunya dong kalau udah selesai urusannya. Sukanya kok nggak langsung matiin lampu”, ujarku di waktu yang lain.
“Halah, kayak mbak selalu matiin lampu aja. Itu lampu kamar kalau siang juga nggak pernah dimatiin kan. Mending kalau ikut patungan bayar listrik, lha ini kan enggak.”
Kali ini aku sempat membantah, walau tetap tak masuk akal jawabanku. Tapi aku adalah aku. Aku yang keras kepala dan tak mau kalah. Saat merasa sudah terpojok dengan jawabannya, aku memilih diam. Kesal. Huh, nampaknya keras kepala dan tak mau kalah-nya sang ayah menurun padaku. Sedang pintar-nya beliau menurun pada si bungsu.
Tapi yang terjadi setelahnya, aku rajin mematikan lampu saat pagi hari, mencabut kabel dispenser saat sudah tidak dipakai. Pemakaian listrik jadi lebih hemat, bukan?

Ya, sedikit banyak itu yang kami pelajari atau mungkin aku pelajari sepanjang berbulan-bulan ini kami berdua saja di rumah. Proses belajar ternyata bisa muncul darimana saja, termasuk dari perdebatan-perdebatan kecil. Dari rasa kesal, dari tangisan, macam-macam bentuknya. Aku berharap, ada semakin banyak pengalaman lain lagi yang bisa kupelajari, apapun mediumnya. Yang aku harap juga bisa berdampak, untukku dan orang-orang di sekitarku.


Selamat belajar,
dari si sulung yang baru 16 hari menginjak usia 23.

Comments

Popular posts from this blog

Perihal Bahagia

Salah Sendiri

Si Ratu Telat #1