Si Ratu Telat #2
Lanjutan dari: Si Ratu Telat #1
Lalu tiba pada satu hari, dimana Indi masih dengan siklus
kemalasannya, mendapat teguran dari dosen.
“Kok nggak sekalian jam 17:15 aja mbak masuknya?”, ujar
beliau ketika Indi baru saja memasuki kelas pukul 16:25.
Indi hanya membalasnya dengan senyum.
Pak Stefan melanjutkan penjelasan materi hari Senin itu, dan
Indi merasa cukup lega karena tegurannya dicukupkan. Namun ternyata ia salah.
Lima menit setelahnya, ia melanjutkan teguran pada Indi. Segala kalimat yang
tak enak didengar dilontarkannya.
“Kamu itu ya, udah lebih dari 4 kali terlambat di kelas
saya. Maumu apa sebenarnya? Kamu nggak menghargai kelas saya kalau begitu”,
ujar beliau dengan nada mulai meninggi.
Indi hanya menunduk dan terdiam.
“Kamu tahu nggak kalau mata kuliah ini susah? Udah susah,
kamu datangnya terlambat terus, ya ketinggalan terus.”
“Nggak bisa saya kalau kayak gini. Keberadaan saya
sebagai dosen seperti tidak dihargai disini. Kelas jam 16:00 kok masuknya jam
16:25 tuh gimana.”
Indi mulai menahan diri agar tangisnya tak pecah. Otaknya
kini hanya penuh dengan nama kedua orang tuanya, perjuangan mereka
menyekolahkan Indi, serta harapan-harapan mereka terhadap Indi. Ia sungguh
menyesal telah mengecewakan mereka. Dalam hati ia hanya bisa mengatakan, “Maaf
ya pa, ma. Maafin Indi udah ngecewain kalian.”
Pikirannya buyar seketika saat Pak Stefan melanjutkan
kemarahannya.
“Sudah, saya nggak bisa ngajar kalau begini. Keberadaan
saya saja tidak dihargai, kok. Biar, kamu intropeksi dulu aja. Mau minggu depan
terlambat lagi juga nggak papa, atau nggak masuk sekalian aja kan malah enak
to. Atau kalau enggak, mata kuliah ini dibatalkan saja sekalian.”
Usai mengatakan kalimat tersebut, Pak Stefan meninggalkan
kelas.
“Udah nggak papa, diemin dulu aja. Bapaknya kan emang
moodnya gitu, naik turun. Bapaknya sebenernya enak kok, baik juga. Cuma yang
tinggal kitanya aja. Manfaatkanlah kebaikannya, tapi ya dengan bijak. Indi ya
besok-besok jangan telat lagi. Minta maaflah sama bapaknya, tapi paling 2-3
hari lagi. Sekarang masih emosi kan soalnya, percuma kalau mau minta maaf
juga”, tutur kakak tingkatku yang juga sekelas denganku, setelah Pak Stefan
meninggalkan kelas.
“Iya kak. Maaf juga ya teman-teman”, kata Indi kemudian
dengan nada penuh penyesalan.
“Halah nggak papa Ndi, Pak Stefan juga pernah kayak gitu
kok di angkatanku”, Kak Priska pun turut menanggapi. Ia mencoba menenangkan
Indi.
Keempat teman Indi pun turut menghibur dan memberi
wejangan padanya agar tak terlambat lagi.
“Besok lagi nggak usah pulang ya dek kalau habis sesi 2,
ke kosku aja udah, biar nggak telat lagi”, ucap Karin sembari tertawa.
“Iya, tidur nggak papa kalau di kos Karin, yang penting
nggak di jalan tidurnya”, timpal Puspa kemudian.
Indi sudah kembali tertawa seperti biasanya bersama
mereka, walaupun sebenarnya hatinya masih saja terluka.
Usai kelas, Indi bergegas pulang. Ia hendak pergi ke
Taman Doa yang terletak di belakang Gerejanya. Ia sedang tak ingin menceritakan
keluh kesahnya ini pada siapapun, yang ingin dilakukannya saat ini hanyalah
bercerita dan bercengkerama dengan Tuhan. Karena ia percaya, Tuhan pasti
mendengarkannya. Walaupun Indi pun tahu kalau Tuhan tak mungkin menjawab dan memberinya
solusi secara langsung dan secara nyata seperti yang sahabat-sahabatnya
lakukan. Tapi ia percaya, hanya Tuhan yang mampu mengertinya saat ini.
Dua hari setelahnya, Indi ada kelas lagi pukul 16:00 dan
saat itu hujan deras. Mengingat kejadian hari Senin yang lalu, maka Indi
berangkat pukul 15:25. Indi tahu ia akan tetap terlambat karena cuaca sore itu
tak bersahabat. Namun ia tetap berusaha untuk berangkat, dengan kecepatan
maksimal yang ia bisa. Tapi tebakannya memang tepat. Indi tiba di kampus pukul
16:20.
Ia langsung mengetik pesan di grupnya, “Aku baru sampe
guys. Masuk nggak ya?”
“Masuk aja, Ndi”, jawab Salsa 2 detik kemudian.
“Iya masuk aja, nggak bakal marah wes bapaknya”, Puspa menimpali.
“Eh tapi kalo kayak kemaren Senin gimana? Nggak enak e
aku sama Pak Tian”
“Iya juga sih, bapaknya nggak pernah marah juga. Kasian
sebenernya kan, kitanya malah jadi seolah memanfaatkan kebaikannya”, kata Nevi
melanjutkan.
“Nah itu tuh, bener banget! Jadi inget kata-kata Kak Pati
aku. Ya kita boleh lah memanfaatkan kebaikan dosen, tapi ya dengan bijak.”
“Udah deh, nggak masuk aja aku. Aku pengen menghargai Pak
Tian hehe”, ucap Indi akhirnya.
“Mantap deh Indi (emot jari jempol)”
“Yaudah Ndi kalo kamu emang maunya gitu, kita mendukungmu
hehe😊”
“Thank you ya,
guys! Aku tunggu kalian di selasar ya habis sesi”, tutup Indi akhirnya, dalam
percakapan melalui whatsapp sore itu.
Indi
duduk di kursi yang terdapat di selasar lantai 3. Ia membuka laptopnya dan
mencoba melanjutkan tugas yang telah ditundanya beberapa pekan ini. Tak lama
kemudian, Kak Priska keluar. Ia hendak ke kamar mandi nampaknya.
“Kak
Priskaaa”, panggil Indi dengan lantang.
“Hei,
kamu ngapain disini?”, jawabnya sambil menghampiri Indi.
“Aku
telat kak, ini lagi ngerjain tugasnya Pak Santo”, kata Indi menanggapi.
“Oalah.
Iya tadi tuh aku sama Karin nungguin kamu. Dia bilang kan, 'Kita masih tunggu 1
orang lagi nih kak'. Terus aku jawab dong, 'Iya kita lihat coba ya si ratu
telat bakal telat lagi nggak hari ini'. Terus kita ketawa dong.”
“Wah,
aku punya nama baru ya sekarang, ratu telat”, ucap Indi sambil tertawa.
“Iya
lah, kamu sih telat terus. Gemes aku tuh sebenernya sama kamu, pengen aku
konseling rasanya. Kenapa sih sebenernya
kamu tuh kok telat terus?”, lanjut Kak Priska sembari menggenggam tangannya
tanda geregetan.
“Hehe
ya nggak papa kak konseling aja aku, aku juga bingung soalnya kenapa aku tuh”, ujar Indi dengan jujur.
“Indi
Indi”, jawab Kak Priska sembari geleng-geleng kepala. “Dah ya aku masuk kelas
dulu, nanti bapaknya curiga lagi karena aku lama banget keluarnya.”
“Ya
kak, daaahh”, kata Indi akhirnya sembari melambaikan tangan.
-Bersambung-
Comments
Post a Comment